Ngomongin parfum itu asyik. Terutama kalau yang dibahas parfum unisex — pakaiannya nggak minta izin, genderless, dan kadang malah bikin kita kepincut karena simpel. Di sini aku mau curhat sedikit: gimana cara memilih aroma unisex yang pas, tren yang lagi muncul, dan bahan alami apa saja yang sering dipakai. Santai aja, sambil ngeteh atau ngopi.
Pertama, pahami kulitmu. Jadi gini: parfum bereaksi berbeda di tiap orang karena chemistry kulit. Coba sampel dulu. Jangan langsung beli botol besar cuma karena tester di kertas harum. Semprot sedikit di pergelangan tangan, tunggu 20–30 menit—itu fase bloom dan dry down yang paling jujur.
Perhatikan konsentrasi: eau de toilette lebih ringan, parfum (extrait) lebih pekat dan tahan lama. Kalau kamu tipe yang nggak suka “meneror” orang di lift, pilih EDT atau Cologne; kalau mau yang nempel sehari, pilih EDP.
Tips praktis lain: jangan menyimpan parfum di kamar mandi. Panas dan lembap bisa merusak komposisi. Simpan di tempat gelap dan sejuk. Dan kalau bingung mau mulai dari mana, cari komposisi yang netral seperti citrus-woody, aromatic-amber, atau musk halus. Itu sering aman dan mudah dipadupadankan.
Aku pribadi suka kombinasi bergamot + vetiver. Seger, sedikit hijau, tapi tetap hangat. Ada juga yang suka neroli atau orange blossom karena memberi kesan bersih dan elegan. Buat suasana cozy, amber dan sandalwood bisa jadi jagoan — tapi jangan berlebihan, nanti mirip perpustakaan antik.
Kalau mau sesuatu yang playful, coba aroma gourmand tipis: bukan kue ulang tahun, tapi sentuhan vanilla yang lembut sebagai penyeimbang notes woody atau citrus. Supaya nggak manis berlebih, padukan dengan sedikit rempah atau cedar.
Oh ya, kalau mau cek inspirasi brand lokal atau internasional yang banyak eksplorasi unisex, coba lihat koleksi-koleksi niche. Aku sempat kepo di zumzumfragrance — pilihannya variatif dan kadang ada kombinasi bahan alami yang menarik.
Tren wewangian berubah-ubah, tapi ada beberapa bahan alami yang lagi naik daun: vetiver, cedarwood, oud (ya, masih populer), neroli, jasmine, lavender, dan berbagai jenis resin seperti labdanum. Masing-masing punya karakter kuat dan bisa dipakai unisex kalau dikombinasikan pas.
Tren lain yang agak “nyeleneh” tapi asyik: wewangian yang mengingatkan pada suasana—misal: hujan pertama, perpustakaan, atau lembaran buku bekas. Lucu kan? Bau hujan? Bisa jadi kombinasi petrichor (bau tanah basah) + ozonic notes + sedikit vetiver. Hipster, iya. Tapi works.
Sustainable perfumery juga makin digemari: bahan-bahan yang ramah lingkungan, sumber etis, dan formula yang bersih. Orang sekarang nggak cuma cari aroma enak, tapi juga cerita di balik botolnya. Kalau brand bisa jelasin asal bahan, itu nilai plus besar.
Layering itu seni. Gunakan body lotion atau oil tanpa aroma sebagai dasar, lalu semprot parfum. Hasilnya lebih tahan lama dan aromanya jadi lebih kompleks. Tapi jangan contoh aku yang kadang kebablasan—lapis tiga dan tetangga nanya mau buka toko kue.
Satu aturan tak tertulis: less is more. Dua semprotan di dada, satu di belakang telinga, sudah cukup. Kalau mau peka, tanyakan ke teman dekat apakah aromanya overpower. Jujur itu membantu.
Akhirnya, yang penting: pilih aroma yang membuat kamu merasa baik saat memakainya. Parfum itu ekspresi diri, bukan lencana status. Eksperimen, catat yang kamu suka, dan nikmati prosesnya. Kadang butuh waktu bertemu aroma yang pas—seperti cinta, butuh kesabaran dan sedikit trial and error. Selamat mencoba, dan semoga wangi yang kamu pilih bikin hari-harimu sedikit lebih enak.
Gaya santai: Mengapa Parfum Unisex Itu Masuk Akal Sejujurnya, dulu aku mengira parfum punya label…
Kamu tahu momen ketika aroma sebuah parfum langsung membuatmu bilang "ini cocok banget"? Aku pernah…
Parfum Unisex untuk Siapa Sih? Tips Memilih Aroma, Tren, Bahan Alami Aku selalu suka berburu…
Rahasia Aroma Unisex: Tips Memilih, Tren Wewangian, dan Bahan Alami Ngopi sore, ngobrol soal parfum.…
Kenapa Unisex Bikin Ketagihan? Aku ingat pertama kali nyoba parfum unisex, itu bukan karena aku…
Coba Dulu Sebelum Beli: Parfum Unisex, Tren Aroma dan Bahan Alami Kenapa "coba dulu" itu…