Aku selalu tertarik pada parfum yang bisa dipakai siapa saja, tanpa terikat label pria atau wanita. Parfum unisex terasa seperti bahasa yang lebih jujur tentang diri sendiri: aroma yang bisa mengikuti mood, cuaca, atau tempat kita berada. Pagi tadi aku pakai parfum yang lembut, tidak terlalu manis, dan rasanya pas dengan kopi yang hampir dingin di meja kerja. Di mata orang, itu hanya aroma biasa, tapi di dalam kepala aku, itu seperti jalan-jalan kecil ke taman kota yang sejuk. Aku percaya parfum tidak seharusnya menuntun kita mengikuti standar tertentu; dia bisa jadi teman yang lebih fleksibel daripada yang kita sangka. Itulah mengapa aku suka parfum unisex: ia menanyakan siapa dirimu hari ini, lalu menjawab dengan aroma yang netral, namun kuat menyampaikan karakter.
Beberapa tahun terakhir, aku melihat banyak merek yang sengaja menghapus label gender. Mereka membangun profil aroma berdasarkan notes: citrus segar, hijau rumput, kayu hangat, atau muatan amber yang menenangkan. Pada akhirnya, yang penting adalah keseimbangan antara top, middle, dan base notes—bagaimana aroma berkembang di kulit kita sepanjang hari. Ketika aku pertama kali mencoba sesuatu yang benar-benar unisex, aku merasakan kebebasan: tidak perlu menebak apakah parfum ini “cok” untuk laki-laki atau perempuan; ia hanya cocok untuk aku. Itu sensasi sederhana yang membuat aku tersenyum setiap kali menyemprotkan semprotan kecil di pagi hari.
Pertama-tama, aku biasanya menimbang suasana hati dan aktivitas. Kalau hari kerja yang panjang, aku cari aroma yang tidak terlalu kuat di kantor: top notes citrus yang segar, middle notes bunga ringan, dan base yang tidak terlalu tajam. Aroma alam cenderung lebih ramah dengan kulit kita daripada bahan sintetis yang terlalu menonjol. Aku juga menguji pada kulit sendiri, karena dua orang bisa merasakan aroma berbeda meski sama-sama mencoba tester. Satu hal yang aku suka adalah memilih bahan alami yang jelas sumbernya: citrus dari jeruk mediterranean, vetiver dari tanah Asia, atau kayu seperti cedar yang memberi kestabilan. Di akhir hari, aku ingin aroma itu tetap ada, tetapi tidak mengganggu orang di sekitar.
Tips praktisnya: lakukan patch test 48 jam, pakai sedikit dulu, lalu biarkan beberapa jam. Jika aroma masih nyaman setelah jam makan siang, itu tanda yang baik. Gunakan lotion yang tidak punya bau kuat sebagai base, agar aroma parfumnya bisa ‘bernafas’ tanpa terlalu berat. Dan kalau kamu sering berada di ruang sempit, hindari kombinasi terlampau banyak notes; kadang satu dua notes alami saja sudah cukup memberi identitas pada dirimu. Suasana ruangan juga memegang peran: di kafe yang ber-AC, aroma lebih cepat memudar, sementara di luar ruangan, ia bisa berkembang menjadi lebih hidup.
Tren saat ini terasa sangat manusiawi: parfum yang mengedepankan bahan alami, transparansi sumber, dan cerita di balik setiap botol. Banyak label unisex yang bermain dengan keseimbangan antara citrus, hijau daun, vetiver, amber ringan, serta sentuhan rempah yang hangat. Ya, tren ini juga menuntun kita untuk lebih selektif: bukan sekadar aroma yang terdengar seksi, melainkan aroma yang bisa dipakai dalam berbagai situasi—pagi ke kantor, sore hangout, hingga malam santai. Bahan alami sering dipadukan dalam formula yang tidak terlalu ‘membingungkan’ sehingga penyerapannya di kulit terasa halus. Di pasaran, kita bisa melihat parfum yang menonjolkan varietas seperti jojoba, almond, atau kelapa sebagai base yang lembut, tanpa terasa manis berlebihan.
Kalau kamu ingin melihat contoh pilihan yang fokus pada kealamian, coba cek label yang menonjolkan not-not citrus, zaitun, vetiver, atau bunga liar. Untuk anteprima dan pilihan yang lebih spesifik, kamu bisa meninjau koleksi yang berfokus pada alam, misalnya zumzumfragrance sebagai referensi. Aku sendiri suka bagaimana aroma-aroma itu bisa bertahan lama meski aku baru berjalan dari kamar tidur ke dapur dan kembali lagi.
Langkah terakhir yang menurutku paling krusial adalah cara penggunaan. Aku selalu menghindari semprotan langsung ke pakaian bagian dalam karena beberapa jenis parfum alami bisa meninggalkan noda kecil. Aku lebih suka menyemprot di titik nadi seperti belakang telinga, pergelangan tangan, atau tengkuk leher, lalu memberi jarak beberapa sentimeter. Aroma alami sering lebih ‘ringan’ di kulit, jadi aku menunggu sekitar 15–20 menit untuk melihat bagaimana profilnya berubah. Jika after-head atau base notes terasa terlalu kuat, aku bisa menambah kelembapan dengan lotion tanpa bau atau sedikit minyak non aromatik untuk memuluskan penyebaran aromanya. Kenangan lucu: kadang aku suka tertawa sendiri, karena aroma yang awalnya segar di pagi hari ternyata membawa memori tentang taman kota yang lembap ketika aku berangkat ke kampus dulu.
Kalau kamu punya kulit yang sensitif, patch test tetap penting. Simpan botolnya di tempat sejuk dan terlindung dari sinar matahari langsung. Aroma alami tidak selalu lebih ramah bagi semua orang, tetapi dengan pilihan yang tepat, kamu bisa menemukan parfum yang memberi rasa aman, percaya diri, dan sedikit kegembiraan setiap kali mengalungkan botol di leher.
Mengapa Parfum Unisex Selalu Jadi Pilihan Favorit di Setiap Kesempatan? Pernahkah Anda merasa kesulitan memilih…
Mengapa Saya Terjebak Dengan Produk Ini Selama Sebulan Tanpa Henti? Dalam dunia yang dipenuhi dengan…
Menemukan Jalan Di Tengah Kebingungan: Panduan Tentang Kehidupan Sehari-hari dengan Bahan Alami Di tengah hiruk…
Menemukan Ketenangan di Tengah Kesibukan Pada tahun 2018, saat saya tinggal di Jakarta, hidup saya…
Mendalami Dunia Baru: Pengalaman Pribadi Tentang Perjalanan yang Mengubah... Perjalanan adalah jendela ke dunia, dan…
Mencari Aroma yang Tepat: Cerita Perjalanan Menemukan Parfum Favoritku Sejak kecil, saya selalu percaya bahwa…