Kenapa sih unisex terasa juara?
Aku selalu merasa parfum unisex itu jujur saja lebih santai. Nggak perlu mikir “ini terlalu maskulin” atau “wah, kebayang feminin banget” — banyak pilihan yang landai dan mudah dipakai sehari-hari. Pernah suatu kali aku pakai parfum unisex ke kerja, dan beberapa teman cuma komentar “enak banget” tanpa nanya siapa yang cocok. Yah, begitulah: aroma yang netral seringkali berhasil menyenangkan banyak orang tanpa repot.
Tips Praktis Memilih Aroma — dari kulitmu, bukan hanya dari botol
Pertama, coba dulu di kulit, bukan hanya semprot di kertas tester. Kulit kita punya pH dan minyak yang bikin wangi berubah; apa yang harum di kertas kadang jadi berbeda setelah 30 menit di kulitmu. Semprot di pergelangan tangan atau di bawah lengan, tunggu sekitar 20–40 menit untuk mengenali heart note dan base note. Kedua, jangan langsung beli botol besar — minta sample atau beli ukuran travel kalau bisa. Ketiga, pikirkan konteks: mau dipakai kerja, kencan, atau olah raga? Biasanya aroma segar dan ringan cocok untuk aktivitas siang, sementara aroma hangat dan kayu lebih pas untuk malam. Dan satu lagi: tanya diri sendiri, apakah wangi itu membuatmu lebih percaya diri? Kalau ya, sudah cukup.
Tren Wewangian Sekarang: dari clean hingga nostalgia vintage
Di industri sekarang ada beberapa tren yang lagi naik daun. Pertama, tren “clean” — wangi yang terinspirasi sabun, linen, dan aroma segar minimalis. Kedua, kebangkitan wewangian niche dan artisan; orang makin cari cerita di balik botol, bukan cuma nama brand besar. Ketiga, ada juga nostalgia scents yang membawa unsur retro seperti aldehydes atau aroma baby powder—aneh tapi menyenangkan kalau dipakai dengan pas. Lalu, tren sustainability juga nyata: refillable bottles, bahan yang dilacak asalnya, dan formula yang lebih ramah lingkungan. Kalau penasaran, aku suka ngintip koleksi lokal dan internasional online, dan aku pernah lihat pilihan menarik di zumzumfragrance yang menawarkan beberapa opsi unisex unik.
Layering dan cara pakai: buat aroma jadi ‘kamu’
Layering itu salah satu trik favoritku. Kalau ingin aroma lebih personal, pakai lotion tanpa parfum dulu, lalu semprot parfumnya sedikit di titik nadi. Bisa juga kombinasikan dua parfum yang satu top note citrus dan satu base note woody untuk menciptakan signature scent. Hati-hati jangan berlebihan — parfum yang terlalu banyak kadang mengganggu. Untuk daya tahan, selain memilih parfum dengan konsentrasi eau de parfum atau parfum oil, aplikasikan juga di pakaian atau syal; kain menyimpan aroma lebih lama daripada kulit. Tapi kalau pakai ke pakaian, pertimbangkan noda atau reaksi kain, yah, begitulah.
Bahan Alami: nyaman, tapi tidak selalu ‘aman’ tanpa pikir
Bahan alami seperti minyak esensial citrus, neroli, vetiver, cedar, atau patchouli sering jadi favorit di parfum unisex karena memberi karakter hangat dan organik. Namun, alami nggak selalu berarti hypoallergenic. Beberapa orang sensitif terhadap limonene atau linalool yang ada di banyak minyak esensial. Kalau punya kulit sensitif, lakukan patch test dulu. Selain itu, kualitas bahan alami sangat beragam—sourcing berkelanjutan dan metode ekstraksi memengaruhi aroma dan dampak lingkungan. Saya pribadi memilih merk yang transparan soal asal bahan, karena selain harum saya juga pengin tahu cerita di balik botol.
Penutup: pilih yang bikin kamu nyaman
Akhirnya, memilih parfum unisex itu soal eksperimen dan kenyamanan. Jangan mengejar label atau pujian orang lain terlalu keras — kalau kamu nyaman dan wangi itu memicu memori atau mood positif, itu sudah bagus. Simpan beberapa sample, beri waktu untuk tiap parfum “bercerita” di kulitmu, dan nikmati prosesnya. Kadang butuh beberapa aroma sebelum nemu yang pas; dan kalau nggak cocok, yah, ganti saja. Aroma harus menyenangkan, bukan beban.